Beberapa hari ini, kampus saya sedang disemarakkan oleh kegiatan Expo tahunan. Dan sebagai salah satu pegiat paguyuban daerah, paguyuban saya pun ikut serta di even Expo ini. Beberapa rencana sudah disusun. Mulai dari stan diisi dengan makanan khas Jember, dekorasi hingga keperluan sound system sudah disiapkan. Tak lupa pula jaket paguyuban yang sudah dipesan kurang lebih sebulan yang lalu. Jaket ini memang ditargetkan jadi saat Expo ini digelar. Tujuannya ya agar lebih semarak dan tentunya bisa sebagai bentuk kekompakan.
Nah, tulisan ini berawal dari pemesanan jaket tersebut. Ada cerita menarik yang bisa jadi pembelajaran bersama. Jaket paguyuban kami sudah dipesan awal April lalu pada seseorang (anggap saja X) oleh teman saya. Persetujuan pun dibuat, DP diberikan dan disanggupi selesai tanggal 29 April kemarin. Awalnya semua berjalan biasa saja hingga pada H-2 target selesai, kami diminta melunasi dulu karena pihak X memerlukannya untuk bayaran pekerjanya. Teman saya yang menjadi negosiator mendapat dua opsi untuk hal ini. Pertama, uang dilunasi dan jaket selesai sesuai janji awal. Namun bila tidak dilunasi hari itu juga, jaket akan selesai 4 hari kemudian alias mundur. Dan disepakati opsi pertama walaupun belum lunas total. Pihak X pun tetap setuju jaket selesai sesuai jadwal awal. Sembari menunggu, kegiatan Expo pun tetap berlangsung walau tanpa kehadiran jaket yang baru pertama kali ada di paguyuban kami ini. Hingga hari H, kabar mengejutkan datang. Jaket belum selesai. Pihak X memberikan alasan listrik sering mati dll, hingga muncul janji lagi 2 jaket diserahkan dulu kamis kemarin agar bisa dipakai dulu di Expo. Kami pun masih bisa bersabar. Saat hari H, akhirnya saya sendiri yang menghubungi langsung pihak X. Lagi-lagi pihak X menyanggupi diantarkan ke tempat Expo malam harinya. Saya pun bisa sedikit lega. Hingga sampai malam hari, tiba-tiba saya mendapat SMS bahwa pihak X tidak bisa mengantarkan karena ada urusan mendadak dan berjanji diantarkan hari ini. Lagi-lagi, pihak X menawarkan komitmen bila hari ini tidak jadi lagi maka sisa pembayaran dianggap lunas. Saya pun hanya bisa menghela nafas walaupun ada sedikit rasa jengkel dalam hati. Dan tepat sore hari ini akhirnya saya mendapat SMS lagi bahwa jaketnya tidak bisa diantarkan karena ada urusan mendadak lagi. Semakin jengkel lah saya. Saya pun sempat berpikir urusan semendadak apa yang dilalui pihak X ini hingga menunda janjinya sendiri. Setelah sedikit kroscek lewat SMS dia pun membalas, " ... Soalnya dari kemaren itu urusan saya besukin ayah sahabat saya yg lagi sakit, dan hari ini meninggal. Makanya saya bilang klo hari ini gak bisa ketemu.... "
Hal inilah yang sering kita rasakan dalam kehidupan sehari-hari, sebagai contoh langsung menghakimi seseorang ketika orang tersebut berbuat salah, padahal kita sendiri pun belum tahu apa inti masalahnya. Alhasil timbul perpecahan yang kadang berujung pada petaka. Selain itu juga masih banyak contoh lain dalam kehidupan bermasyarakat yang intinya sama yaitu saling menghakimi tanpa tahu pokok permasalahannya. Lantas penyebabnya apa? Belum menyamakan frekuensi berpikir. Ibarat mendengarkan radio, bila frekuensi di radio kita tidak sama dengan frekuensi stasiun radio A, maka jelas kita tidak akan mungkin mendengar siaran stasiun radio A. Hanya suara gemerisik atau suara stasiun radio lain yang terdengar di radio kita. Namun bila sudah satu frekuensi, maka kita akan bisa mendengar siaran stasiun radio A dengan sangat jelas. Begitulah ketika dua pihak belum satu frekuensi dalam menghadapi masalah, dapat dipastikan ada satu pihak yang merasa dirugikan dan "merugikan" ini akibat sudut pandangnya sendiri atau pun akibat mendengar "siaran" orang lain. Namun ketika dua pihak sudah satu frekuensi, seberat apapun masalahnya, sedikit kemungkinan ada pihak yang masih merasa dirugikan.
17:15 WITS
2 Mei 2014
Salam Ifora,
Salam Ifora,
0 komentar
Posting Komentar